Assalamualaikum, Hai teman - teman kali ini saya akan memberikan contoh tugas membuat biografi tokoh idola, ini adalah tugas Bahasa Indonesia saya saat kelas VII, nah tokoh idola yang saya pakai tentunya tokoh idola saya dong, dia adalah Bapak Chairul Tanjung. Saya ngefans sama beliau sejak saya minta dibelikan buku "Chairul Tanjung Si Anak Singkong" oleh orangtua saya. Melalui iklan buku pada saat itu, tidak tahu mengapa saya sangat tertarik dan ingin dibelikan buku itu secepatnya. Oke tanpa lama - lama ini dia contoh biografi tokoh idola saya...
Dia adalah Chairul
Tanjung yang bernama panggilan Bung CT, lahir di Jakarta pada tanggal 16 Juni
1962, Profesinya adalah pengusaha atau pemilik (CEO) Utama CT Corp, dan
pendidikan terakhirnya adalah S2 dari IPMM (selesai 1992), Mempunya istri dan 2
anak yaitu, Anita Ratnasari Tanjung (istri), Putri Indahsari (anak pertama),
dan Rahmat Dwiputra (anak kedua).
Bekerja Keras, Ikhlas dan Jujur
Saat ini dia memasuki usia 50
tahun. Dari sisi kegiatan dan kiprahnya, dia termasuk salah satu pengusaha
papan atas Indonesia, yang disebut berbagai kalangan sebagai the rising star,
yang merasa “bukan anak orang kaya, bukan anak jenderal, bukan anak
konglomerat”.
Mengenai entrepreneurship
(kewirausahaan), kita perlu banyak belajar dari bung CT. Dalam waktu kurang
dari 10 tahun, dihitung dari saat mengakuisisi Bank Mega dari Bank Karman tahun
1996 hingga 2006 ketika masuk di urutan ke-18 dari 40 orang terkaya Indonesia
versi majalah forbes dengan total
kekayaan pribadi 310 juta dollar AS atau lebih dari Rp 2,8 triliun. Di bulan
maret 2012, majalah yang sama mengeluarkan daftar 1226 orang terkaya di dunia,
17 diantaranya orang indonesia. Bung CT termasuk di antaranya dalam urutan
ke-634 dengan kekayaan pribadi 2,0 miliar dolar AS.
Bung CT tidak membantah julukan the
rising star, tetapi membantah disebut pengusaha “dadakan”. Sebab dia merasa
semua diperoleh berkat kerja keras bertahun – tahun sejak mahasiswa. Dimulai
dari usaha fotocopy di kampusnya, industry alas kaki, keuangan, lantas
menggurita ke berbagai usaha, bahkan mengakuisisi perusahaan asing (Carrefour).
Payung perusahaan Para Group pun diubah menjadi CT Corp (Chairul Tanjung
Corpora), tidak lagi focus pada bidang keuangan, property, dan media, tetapi
mencakup hampir semua bidang disentuhnya. Dari sekian ambisinya, seperti diakui
Bung CT masih kurang, satu diantaranya maskapai penerbangan yang namanya sudah
dia temukan sebelum terealisasi.
Kita, setidak – tidaknya saya,
merasa perlu memungut banyak contoh dan bahan pelajaran. Berkat kerja keras dan
kerja tuntas, dia berhasil mengubah dari nobody yang tidak diperhitungkan orang
menjadi somebody yang diperhitungkan banyak orang.
Meskipun tidak ingin memasuki
wilayah politik praktis agar bisa fokus dan tetap netral, sebagai Ketua
Pengurus Yayasan Indonesia Forum, tetapi beliau pada tahun 2007 dipercaya
menyusun Visi Indonesia 2030. Ketika rencana perombakan kabinet Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono kedua digodok, Beliau termasuk satu dari mereka yang
dipanggil ke Istana Cikeas. Akan tetapi, dengan rendah hati beliau mengatakan
“hanya dimintai pendapat soal prediksi ekonomi Indonesia”. Ketika banyak
pengusaha beramai-ramai masuk ke bidang politik atau ketika dibujuk-bujuk
banyak tokoh partai agar masuk ke ranah politik, Bung CT bergeming. “Saya tidak
tertarik bidang politik”, katanya.
Kepercayaan Modal
Utama
Sosok
Bung CT mengingatkan saya pada sebuah kisah dalam mitologi Yunani kuno.
Alkisah, seorang raja, Midas, yang amat sakti. Segala yang tersentuh tangannya
berubah menjadi emas. Hikmah kisah ini bukan tentang keluhan Midas yang kebingungan
dengan kesaktiannya itu, sebab makanan yang akan disantapnya jadi emas, tetapi
tentang kesaktian Midas mengubah segala sesuatu menjadi emas.
Bung
CT secara alegoris boleh disebut Midas, tidak dalam kisah, tetapi dalam
kenyataan. Segala usaha yang ia dirikan dan kembangkan nyaris tidak ada yang
gagal. Mungkin hanya dua, yakni usaha buka toko kebutuhan praktikum calon
dokter di Pasar Senen dan praktik kontraktor bangunan. Itu pun ia golongkan
sebagai bagian dari “jatuh bangun” ketika masih sebagai mahasiswa FKG-UI
(1981-1987), sebelum akhirnya membuka pabrik sepatu sebagai awal kariernya
sebagai pengusaha. Tidak mau jadi dokter, kok, masuk fakultas kedokteran gigi?
Katanya, “Cita-cita saya masuk universitas negeri sebab biayanya murah”. Lantas
dia ingat, bagaimana ibunya banting tulang membiayai sekolahnya dengan menjual
kain halus. Ia pun akhirnya membiayai sendiri kuliahnya.
Sosok
Bung CT mengingatkan konsep filosofis “dari tiada menjadi ada”. Di tangan Bung
CT, konsep itu menjadi riil. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, Beliau
berhasil menciptakan sekian usaha baru yang bermanfaat bagi dirinya,
keluarganya, dan banyak orang. Di antaranya menciptakan lapangan kerja bagi
lebih dari 75.000 karyawan di awal tahun 2012 dan mengharumkan nama Indonesia
di mata Internasional.
Dari
berbagai pertemuan, liputan media, juga dari jawaban-jawabannya ketika ditanya
wartawan, dia katakan, di tahun 1998, “Sukses tidak bisa diraih dalam waktu
sekejap”. Butuh ketekunan, kerja keras, dan intergritas tinggi. Dalam dunia usaha, kepercayaan merupakan modal utama. Begitulah pengalaman pertama kali ketika
mendapat Kredit Modal Kerja Ekspor sebesar Rp 150 juta dari Bank Exim tahun
1987. Kepercayaan. Pihak Bank Exim menilai beliau mampu memutar uang itu dengan
mengekspor sepatu anak-anak.
Kepercayaan
itu segala-galanya. Sekali kepercayaan luntur, dengan sendirinya bisnis luntur.
Untuk mendapat kepercayaan dari mitra bisnis, diperlukan kerja keras, dan
senantiasa berpikir sehat positif. “Kendati dalam praktik bisnis sering terjadi
penyimpangan etika bisnis, tapi sebagai pengusaha yang mau maju tetap harus
mengembangkan moral dan idealisme.”
Dalam
praktik bisnis, selama segala sesuatu masih dalam batas yang wajar tidak
menjadi masalah. Bung CT mengaku, dalam melaksanakan segala kegiatan bisnisnya,
senantiasa dia coba sesuai dengan hukum dan sistem. “Saya hampir tidak pernah
memberikan upeti kepada pejabat negara atau direksi bank karena bukan itu
tujuan saya. Saya mendapatkan kredit dari bank bukan dengan cara menyogok.
Mendapatkan kredit karena mempunya track
record yang baik.”
Adanya kepercayaan, moral, dan
idealisme dalam berbisnis itu pula yang saya rasakan ketika Kompas Gramedia
melepas 55 persen sahamnya (di TV7, sekarang Trans 7-ed.) kepada beliau tahun 2006. Kompas Gramedia dan saya merasa
memperoleh partner. Visi dan misi bidang media beliau sejalan dengan visi-misi,
cita-cita, dan idealisme Kompas Gramedia. Entah karena hoki atau lebih
profesional, belum genap satu tahun, kinerja Trans 7 bisa menutup kerugian,
bahkan mulai mendatangkan keuntungan.
Senantiasa Optimis
Mencermati
Visi Indonesia 2030 yang dibangun dengan optimisme yang rasional, saya lihat
dia menempatkan Indonesia dalam prediksi besaran entitas CT Corp, holding company
perusahaan-perusahaannya. Rasa optimis lahir dan tumbuh dari cara memandang
masa depan yang lebih baik, modal memacu semangat. Rasional dibentuk melalui
proses yang terarah didasarkan atas kajian komprehensif, mendalam, dan
bertanggung jawab secara ilmiah. Semuanya diciptakan melalui sinergi komponen
pengusaha, birokrasi, dan akademisi. Untuk mencapai itu diperlukan tiga syarat
: kepemimpinan nasional yang kuat, iklim bisnis yang kondusif, dan kebijakan
energi yang komprehensif.
Menurut
Visi Indonesia 2030, Indonesia dengan penduduk 285 juta jiwa pada tahun 2030
masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia, pendapatan per kapita sekitar
18.000 dollas AS, masuk dalam daftar 10 besar tujuan pariwisata dunia, dan
tercapainya kemandirian dalam pemenuhan energi domestik, dan masuknya paling
tidak 30 perusahaan Indonesia dalam daftar Fortune 500 perusahaan dunia.
Sasaran-sasaran Visi Indonesia 2030 yang dirasa kurang memperhitungkan faktor
sosial politik budaya dengan mudah berakibat visi itu dikritik sebagai mimpi
atau utopia.
Sebaliknya,
dalam menyelenggarakan manajemen perusahaan, Bung CT jauh dari mimpi. Selain
visi dan targetnya jelas, jelas pula strategi objektif dan inisiatif-inisiatif
cara mencapainya. Dengan cara berpikir itu, kolumnis Christianto Wibisono
menyebut Bung CT sebagai pengusaha yang punya kiatmanajemen dalam suasana
kritis-sebelum krisis tahun 1998 nyaris Beliau tak dikenal-sebutlah bertangan
dingin. Tangan dinginnya bukan hanya karena hoki atau nasib baik, melainkan
terutama berkat semua ditempatkan dalam kriteria hitung-hitungan terukur,
dikerjakan dalam sistem manajemen tegas profesional, disertai usaha keras dan
bekerja tuntas.
Dari
sekian ceramahnya, saya terkesan oleh pandangan-pandangannya yang to the point, bukan sebuah analisis dari
balik bangku kelas atau statistik kotak-katik, melainkan hasih praktik. Satu
diantaranya sebuah ceramah yang disampaikan di depan pimpinan Kompas Gramedia
tanggal 2 November 2011 di Hotel Santika, Jakarta. Pemaparannya tentang kondisi
global tidak jauh dari konteks optimisme masa depan Asia, bagaimana posisi
Indonesia sebagai satu diantaranya. Sumber kemajuan Indonesia terletak pada
sumber daya manusia yang tidak hanya terdidik, tetapi juga kreatif dan
mendasarkan diri pada hasil riset. Di sana terletak inovasi-inovasi untuk
kemajuan. Masa depan dunia ada di Asia. “The future of the world is Asia,”
katanya.
Lima
puluh persen perekonomian dunia akan dikontrol oleh Asia dengan kunci-kunci
pokok China dan India. Salah satu kata kunci Beliau adalah “ Siapa yang tidak
berubah akan dimakan oleh pesaingnya.”
Berorang
tua darah Batak-Sunda, A.G. Tanjung dan Halimah-pemimpin harian Suluh Indonesia yang ditutup semasa era
Soekarno di tahun 1960-an dan lahir di jakarta, Bung CT menjawab keraguan-keraguan
tentang entrepreneurship. “entrepreneurship” itu bisa dilahirkan,
bukan diturunkan.” Beliau telah membuktikan dengan
keberhasilan-keberhasilannya. Beliau menaruh target usahanya terbesar di
Indonesia. Ia telah membuktikan keyakinannya. Semua yang disentuhnya
menghasilkan buah, ibarat semua benda yang disentuh Raja Midas menjadi emas.
Kutipan Menarik
Seorang Chairul Tanjung
-
Kain
Halus Ibu Sebagai Biaya Kuliah
“Mengingat keterbatasan dalam banyak hal
terutama biaya, langkah apapun sudah harus saya pertimbangkan dengan matang,
termasuk setelah lulus sekolah menengah atas dan mulai akan menapaki bangku
perguruan tinggi.” Dan ternyata biaya itu adalah dari kain halus ibunya, namun
Bung CT tidak mengetahuinya. Ibunya berkata, “Chairul, uang kuliah pertamamu
yang ibu berikan beberapa hari yang lalu ibu dapatkan dari menggadaikan kain
halus ibu. Belajarlah dengan serius , Nak.”
-
Lima Belas Ribu Pertama Dalam Hidup Saya
“Kala itu, dosen mungkin bisa disejajarkan
setingkat di bawah Tuhan. Titahnya terhadap mahasiswa tidak terbantahkan.
Apapun yang disarankan merupakan perintah yang amat tidak mungkin diabaikan,
apalagi dilanggar mahasiswa. Waktu itu, dosen kami selalu mewajibkan semua
mahasiswa, tanpa kecuali, memiliki buku asisten praktikum yang disusunnya. Buku
diktat tersebut juga terkait dengan kepentingan kegiatan praktikum para
mahasiswa di FKG-UI.” Ternyata Bung CT memanfaatkan peluang dalam kegiatan ini,
beliau mempunyai kenalan yang memiliki Usaha Percetakan dengan harga murah
yaitu Rp 150. Esoknya beliau menawarkan fotocopy buku praktikum hanya Rp 300
saja. Karena fotocopy yang di jalan salemba seharga Rp 500 dan lebih mahal,
maka beliau memanfatkan peluang. “Keuntungan awal dari bisnis fotocopy ini Rp
15.000 dan praktis didapatkan dengan proses mudah. Kuncinya sederhana: Jaringan
dan Kepercayaan.”
-
Juragan
Fotocopy di Kampus
“Kabar
mengenai harga fotocopy di saya yang jauh lebih murah dibanding di toko-toko
sekitar kampus waktu itu meluas begitu cepat, tidak hanya di FKG angkatan saya,
tetapi juga terdengar hingga ke telinga beberapa dosen. Singkat cerita, semua
meminta bantuan saya mencetak beragam diktat. Banyak sekali, baik yang
berbahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris.” “…hidup sebagai mahasiswa yang
memiliki penghasilan sendiri sungguh indah luar biasa kala itu. Dunia cerah
ceria laksana bulan tanpa terhalang awan di puncak purnama.
-
Berjualan
Alat Kedokteran di Kampus
“Kedokteran
merupakan salah satu jurusan paling mahal, terlebih kedokteran gigi. Bahan
praktikum pembuatan gigi palsu seperti gypsum dan wax sebetulnya sudah
disediakan di kampus, tapi untuk berlatih, sudah pasti berbagai alat dan bahan
tersebut harus dimiliki sendiri, dan itu tidak murah karena semua masih
diimpor. Sementara itu hamper semua mahasiswa belum berpenghasilan dan
mengandalkan kiriman dari orangtua. Selain melihat ini sebagai peluang usaha,
saya pun berniat membantu teman-teman yang lain.” “kemudian saya mulai diberi
barang atau peralatan praktikum yang terdiri dari pinset, gypsum, wax,
eskavator, dll. Saya jual kepada teman-teman dengan harga yang lebih murah
daripada harga di took yang biasa mereka beli.”
-
Karena
Sang Jenderal, Akhirnya Dua Teman Lulus Kewiraan
“Jika
dirunut ke belakang, hubungan saya dengan teman-teman cukup dekat dan kami
saling membantu. Pernah suatu ketika saya didekati Alin dan Wati agar saya bisa
memperjuangkan kepada dosen Kewiraan, Pak Sunardi, untuk memperbaiki nilai
mereka.” Akhirnya Bung CT membantu temannya sampai bertemu dengan Sang
Jenderal. “Beberapa buku sengaja saya baca hingga habis agar memiliki banyak
refrensi sebagai bahan berbincang dengan Sang Jenderal seputar senjata dan
perang.” “Saya hanya mahasiswa, dan lawan bicara nanti adalah seorang Jenderal
berpengalaman.”
-
Menunggu
Bapak Pulang demi Zakat Fitrah
“Suatu
hari malam takbiran saat saya masih kelas dua SMP. Waswas menunggu bapak yang
belum juga pulang. Saya sendirian menunggu beliau di ujung gang seraya berdoa
semoga beliau kali ini membawa uang untuk membayar zakat fitrah kami
sekeluarga.” Bung CT yang sambil menunggu sang bapak pulang untuk membayar
zakat fitrah sampai jam 03.30, ada tetangga yang memerhatikan dan sempat akan
memberi keluarga beliau zakat, lalu beliau tolak.
Kata -Kata Mutiara Dari Beliau
- Kita butuh banyak wirausaha yang nasionalis, nasionalis kerakyatan, karena ini tugas kemanusiaan. Karena kekayaan tidak dibawa mati. Inilah watak kebangsaan paling sejati. Kita berbuat, tidak sekedar beretorika.
- Tidak ada kesuksesan yang bisa dicapai seperti membalikkan telapak tangan, tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras, keuletan, keggihan, dan kedisiplinan.
Sumber:
Buku “Chairul Tanjung Si Anak Singkong”